Atmakanta Studio of Innovative Documentary
17 déc. 2023
Our CEO's op-ed published on Indonesian media Jawa Pos, December 17, 2023
Originally published here.
Oleh Moses Parlindungan Ompusunggu
Keragaman film nonfiksi pendek Indonesia yang ditayangkan di Festival Film Dokumenter (FFD) tahun ini memberikan gambaran menarik mengenai dinamika antara advokasi kemanusiaan dan eksperimen estetik. Skema distribusi berbasis dampak (impact distribution) ditawarkan untuk menjaga keberlanjutannya.
Mengingat keterikatannya pada realitas, film dokumenter sampai kapan pun akan sulit dibicarakan tanpa menyinggung isu atau fenomena sosial yang membersamainya. Dalam konteks ini, muncul sebuah pertanyaan eksistensial: mana yang lebih penting antara advokasi dan eksperimen kreatif?
Di satu sisi, ada anggapan topik yang diangkat lebih penting daripada ekspresi sinematiknya. Bagi penganut paham ini, penyampaian pesan secara gamblang menjadi tujuan utama sebuah dokumenter ketimbang mengutak-atik gaya bertutur.
Di sisi lain, ada yang berpendapat eksperimen penceritaan lebih utama ketimbang keberpihakan yang gamblang. Mendekonstruksi gaya penceritaan menjadi napas sebuah dokumenter, bukan jadi eksposisi pedagogis.
Kedua sudut pandang di atas bersilangan di sebuah pertemuan: ekspresi kreatif dan tendensi advokasi dapat berjalan bersamaan. Gaya dan substansi jadi sama-sama penting. Dengan kata lain, berpihak dan berkisah dapat dilakukan dengan saling menguatkan.
Dalam konteks Indonesia, persilangan tersebut terasa dalam dokumenter-dokumenter pendek Indonesia suguhan FFD tahun ini (3–9 Desember 2023). Sebagaimana gelaran-gelaran sebelumnya, FFD edisi ke-22 ini memberikan porsi besar kepada penikmat film untuk menonton karya-karya sineas Indonesia.
Tulisan ini menyoroti dinamika yang disinggung di atas dalam film-film di salah satu lini acara utama FFD 2023: Kompetisi Pendek. Di satu sisi, tiap-tiap film Kompetisi (produksi 2022–2023) tidak malu-malu menegaskan keberpihakan kepada kelompok terpinggirkan. Di sisi lain, eksplorasi gaya berkisah mereka semakin meninggalkan pakem-pakem yang selama ini turut berkontribusi pada pandangan bahwa dokumenter itu berat dicerna dan membosankan.
Tengok Kanaka (25 menit), pemenang Kompetisi Pendek yang disutradarai dokumenteris muda Regina Surbakti. Film ini melihat kehidupan keluarga kecil seorang perempuan pelukis kuku di Jogjakarta. Menangkap keseharian protagonis bersama suami, putri kecil, dan ibunya, film ini amat berpihak kepada perempuan dan beban gandanya sebagai ibu dan pekerja.
Peluit Panjang (Yusuf Jacka Ardana, 9 menit) memanggil audiens untuk senantiasa menagih pertanggungjawaban bagi para korban tragedi Kanjuruhan 2022. Mother of the Sea (Clarissa Ruth Natan, 15 menit) berfokus pada kehidupan nelayan perempuan. Wisisi Nit Meke (Arief Budiman, Bonny Lanny, dan Harun Rumbarar, 40 menit) mengajak penonton mendalami aspek kehidupan masyarakat Papua yang selama ini tidak banyak dibicarakan media arus utama: berkreasi lewat sebuah aliran musik hibrida elektronik-etnik bernama Wisisi.
Selanjutnya, Senandung Senyap (Riani Singgih, 24 menit) melarutkan penonton ke realitas kawan-kawan tuli. Sutradara Wisnu Candra memperlihatkan jatuh bangun pengelolaan sebuah kelompok kasidah perempuan dalam Nasida Ria: Sun Stage (18 menit). Sementara Sailum: Song of the Rustling Leaves (29 menit), yang disutradarai secara gotong royong oleh penulis dan novelis Felix K. Nesi, berfokus pada sopi, alkohol tradisional yang memiliki tempat khusus di kehidupan masyarakat Atoin Meto di Timor. Masyarakat yang, meminjam istilah Felix sendiri, tinggal di daerah ”yang tidak ditemukan dalam peta.”
Kuatnya keberpihakan kepada kelompok marginal berimbang dengan inovasi naratif dalam film-film di atas. Kanaka dan Mother of the Sea memang bertumpu pada pendekatan observasional (salah satu pendekatan tradisional dokumenter), tetapi bukan observasi dingin dan berjarak. Peluit Panjang mengontraskan montase gambar-gambar keterbengkalaian Stadion Kanjuruhan pascatragedi dengan lanskap suara-suara latar yang ramai. Nasida Ria: Sun Stage dengan manis bermain-main dengan kolase.
Wisisi Nit Meke membuat penonton bergoyang dengan kentalnya musik Wisisi yang menjadi nyawa sekujur film. Senandung Senyap berinovasi dengan penggunaan vibrasi dan teks yang mengikutsertakan kawan-kawan tuli sebagai audiens –bukan semata objek. Dan Sailum berkisah lewat pendekatan esaistis, di mana Felix menarasikan kisah personal, bukan selayaknya Morgan Freeman atau David Attenborough dalam dokumenter-dokumenter pedagogis Barat.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana memastikan keberlanjutan dari film-film tersebut. Dalam salah satu sesi DOC Talk FFD 2023, ada skema bernama distribusi dampak yang ditawarkan In-Docs (organisasi pengembangan dokumenter Indonesia).
Menurut In-Docs, distribusi dampak berbeda dari distribusi film secara tradisional, yang berfokus pada menjangkau sebanyak-banyaknya penonton. Distribusi dampak idealnya justru menargetkan beberapa kelompok penonton. Disesuaikan dengan tujuan pembuatan dokumenternya. Bukan sekadar advokasi berapi-api, tetapi soal memantik beberapa hal, mulai kesadaran sosial hingga perubahan besar.
Dalam konsep ini, sineas dapat bekerja sama dengan mereka yang disebut In-Docs sebagai changemakers. Ini pihak di luar tim produksi yang memiliki sejumlah kapasitas tertentu dalam meluaskan dampak film kepada targeted audience. Misalnya, lembaga sosial masyarakat (LSM) dan institusi pendidikan. Pihak sineas dan changemakers kemudian dapat menyusun serangkaian program penunjang pemutaran seperti diskusi dan lokakarya.
Bukan sebuah perkara mudah, tentunya. Apalagi jika mengingat konsep tersebut –sampai sejauh ini– sangat bergantung pada sokongan donor. Namun, bagi penggiat dokumenter, secara garis besar ini menjadi angin segar. Skena dokumenter kita tentu akan semakin berkembang jika banyak pintu terbuka untuk mengeksplorasi gaya tutur, berpihak, dan di saat bersamaan dapat menghasilkan dampak. (*)
MOSES PARLINDUNGAN OMPUSUNGGU, Dokumenteris dan kritikus dokumenter. Peraih Film Dokumenter Panjang Indonesia Terbaik FFD 2022 dan Special Mention Sayembara Kritik Film Dewan Kesenian Jakarta 2023. Mengelola rumah produksi Atmakanta Studio of Innovative Documentary (@atmakantastudio) dan media investigasi digital Pantau Hoaks (@pantauhoaks).