Moses Parlindungan Ompusunggu
03/12/23
Komposisi hitam-putih berisi realitas orang-orang terlelap di stasiun kereta terpencil.
DETAIL FILM
Sutradara, Penulis, Editor: Sergei Loznitsa
Produser: Alexander Rafalowskiy
Sinematografer: Pavel Kostomarov
Suara: Alexander Zakarzewskiy
Durasi: 25 menit
Warna: hitam-putih
Format: 35 mm
SINOPSIS
Laju kereta membelah kesunyian di sebuah stasiun kecil. Peluit pada lokomotif dan desing roda perlahan hilang di gelap malam, tapi orang-orang di stasiun tetap terlelap. Orang-orang memilih terus tertidur. Apa yang sedang mereka tunggu? Apa yang akan membangunkan mereka?
COCOK JADI BAHAN BELAJAR BIKIN:
Dokumenter eksperimental
Cerita dari komposisi gambar dan suara
REFLEKSI
Apa yang paling mendasar dalam sebuah dokumenter? Tiap orang boleh punya versinya sendiri. Bagi saya: KOMPOSISI. Ini tentang bagaimana unsur-unsur suara dan gambar saling menjalin dalam layar -- menjembatani penonton dan realitas yang disuguhkan (atau dijanjikan).
Komposisi ciamik membuat sebuah dokumenter menempel di kepala penontonnya. Entah menempel selama semenit, sejam, sehari, seminggu, atau setahun setelah menonton. Yang jelas, filmnya membangkitkan sesuatu di kepala. Sebuah sensasi yang indah.
Nah, tanpa ada struktur naratif nan kentara, The Train Stop begitu memukau lantaran komposisinya. Padahal sebenarnya komponen karya dokumenteris Ukraina Sergei Loznitsa ini cuma dua: susunan gambar hitam-putih dan suara latar. Konteks dan informasi pendukung? Nggak ada, coy! Wawancara? Apalagi ini...
Tanpa ada hal-hal tersebut (yang biasa ditemui di konten-konten yang mendaku diri/didaku sebagai dokumenter), The Train Stop pelan-pelan membawa saya kepada orang-orang letih yang tertidur pulas di sebuah ruangan. Dari semua kalangan: ada dewasa dan anak-anak, perempuan dan laki-laki.
Tatkala montase visual membawa saya ke ruangan itu, rentetan bebunyian saling beradu dalam bising yang padu di telinga saya. Suara-suara yang biasa saya dengar di (atau kerap diasosiasikan dengan) stasiun kereta api.
Bak sebuah tur ruangan, tapi bukan menyuguhkan pencapaian atau tetek-bengek berkilauan. Melainkan badan-badan yang terlelap.
Waktu Loznitsa membuat The Train Stop (debut dokumenter pendeknya), ia dan kameramennya Pavel Kostomarov rutin merekam di sebuah ruang tunggu penumpang di stasiun kereta Malaya Vishera, 150 kilometer dari St. Petersburg, Rusia. Selama setahun.
Awalnya sebuah kebetulan. Loznitsa dan Kostomarov sedang dalam perjalanan kereta dari Moskow (ibukota Rusia) ke St. Petersburg. Tiba-tiba, kereta mereka anjlok. Berhenti di stasiun Malaya Vishera.
Sisanya adalah sejarah.
Ruangan 5x5 meter itu kerap disesaki penumpang; meski Malaya Vishera sendiri adalah kota yang mungil. Di ruang tunggu, "ada yang duduk di bangku, di lantai, dan berdiri," ujar Loznitsa dalam sebuah wawancara dengan MUBI.
Di sebuah sudut di ruangan itu, Loznitsa dan Kostomarov ketemu tempat pewe. "Dan di situlah filmnya bermula. Rasanya aneh, gitu, berada di antara sekumpulan orang-orang banyak yang lagi tidur," kata Loznitsa.
Waktu ditanya, apa reaksi para penumpang di ruangan itu, Loznitsa menjawab: "Kebanyakan dari mereka udah terlalu letih sama idup, boro-boro peduli keberadaan benda konyol macam kamera."
Kembali ke filmnya. Sebelum saya menonton film ini, saya tidak membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Setelah kemudian saya tahu, bahwa Loznitsa mengajukan pertanyaan "Apa yang mereka tunggu? Apa yang akan membangunkan mereka?" dalam sinopsis, di saat itu saya bertepuk tangan penuh hormat.
Pikir saya: "Wow, menjelang filmnya selesai, dia memang benar-benar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Meski bukan dengan cara menggurui, karena tetap mengajak penonton untuk menyimpulkan sendiri. Wow, jenius!"